Senin, 27 Juli 2009

Cerpen Dahsyat 2

Bukan Sekedar Simbol

Gerak – gerik mencurigakan patut ditujukan untuk Hamidan bersama seorang teman sebayanya. Bahkan kemarin malam ia pergi dengan mobil kijang mewah terkesan terburu – buru. Aku memang tak melihat jelas perihal kesibukannya keluar masuk mobil dan rumah. Belum sempat ku menghampirinya ia sudah pergi. Dia memang orang super sibuk, jarang di rumah, bahkan untuk menyapa istri dan anaknya. Menurut pengakuan istrinya Tanti, Hamidan sedang dipromosikan menjadi asisten manajer cabang di perusahannya. Tak heran jika orangnya memang sibuk, pasalnya perusahaan tempat bernaung Hamidan adalah perusahaan operator seluler ternama, salah satu dari empat operator yang menguasai pasar telekomunikasi nusantara. Sering kali Hamidan keluar kota mengurus keperluan administratif, membuat keluarganya terabaikan. ”Aku salut dengan kegigihan dan ketabahan Tanti, ia mampu mengurus si kecil Annisa di tengah kesibukan suami tanpa pembantu, apa itu yang dinamakan cinta?”.

Menurut keterangan teman lamaku, Rifki ia pernah melihat belum lama ini, Hamidan di salah satu klub malam bersama teman – teman pria dan wanita, seakan menghiraukan ada wanita sebagai simbol cintanya. Semenjak itu Tanti jarang keluar rumah, ia juga tak pernah terlihat lagi di forum pengajian ataupun arisan ibu – ibu. ”Ya, mungkin belum jelas mengapa warga terheran – heran dengan perangai Hamidan sekarang”. Sebelumnya ia adalah pengangguran musiman, ia bekerja serabutan. Harianya dilakukan di kedai kopi angkringan sedarhana depan rumah, Rumah tangga harmonis menjadi pegangan akan simbol pernikahan. Beruntung ia masih punya sebidang tanah luas warisan kedua orang tua yang sangat sayang padanya. Terkadang ia jual sebagian lahannya, atau disewakan untuk menyambung hidup keluarga.

Suatu saat ia ditawar seorang kawan bekerja di sebuah perusahaan seluler. Kerja keras bergelut masalah ia tekuni hingga mencapai posisi sekarang. Tapi tiada disangka, rentetan setiap bagian pekerjaan yang pernah dijalani, menyisakan masalah berkelanjutan. Segelintir pihak banyak menggoda untuk kepentingan dan kepuasan sesaat, kebanyakan warga menyebut demikian. Aku sudah lama tak pulang dari perantauan, sehingga tak tahu perkembangan. Penasaran, kusambangi kediaman Tanti. Mungkin sedikit berlebihan, namun apa boleh buat aku terlanjur miris meratapi nasib wanita satu ini.

Menyatakan sekedar bersilaturahmi, tak sengaja mungkin dalam penyampaianku sedikit melukainya. Ia sontak terjenggirat ”keluar Mas, maaf rumah ini tertutup untuk orang – orang iseng tak berkepentingan” ”Maaf, bukan maksudku” belum selesai ku meminta maaf, ia mendorongku keluar. Aku yang merasa bersalah tak mampu mengelak, pasrah saja mendapati perlakuan itu, ”daripada membuat keributan konyol ?” batinku.

Terkejut dan tak terduga, wanita yang biasa ku kenal sopan, tiba – tiba berubah sebegitu drastisnya. Tempramen tinggi kiranya masih meliputi Tanti untuk hari – hari berikutnya, sempat ketika suaminya pulang istirahat sejenak, perseturuan tak terhindarkan. Hawa panas rasanya betah dan tak rela menguap. Sungguh petang yang menggegerkan warga. Hamidan tak henti – hentinya melukai hati Tanti, ia lantas pergi hingga lama tak pernah kembali. Perempuan mana yang tak menangis, ia harus menanggung beban berat, mengasuh anak semata wayang sendirian.

Manggantung nasibnya tanpa status yang jelas. Kebahagiaan pernikahan hanya menyapa sekejap sebelum aral menghampirinya. Ingin sekali aku membantunya mengasuh buah hati yang mulai rewel ketika proses pertumbuhan. Namun aku ragu bila menyinggungnya kembali. ”Dia bersikap seperti itu, tak lain untuk masa depan anaknya”, tiba – tiba Rifki menyambangiku dengan sepuntung rokok mentol. ”Sampai mengabaikan segalanya? Maksudmu?” ”Jelas, ia takut melihat anak – anak broken home yang sering kurang kasih sayang sampai terjerumus ke lembah hitam narkoba. Lihat saja tawaran warga yang menganjurkannya mengadu ke pihak berwajib dengan tuduhan KDRT tidak pernah digubris.” ”Itulah kecintaan seorang ibu terhadap anaknya, keinginan Tanti tetap terus mempertahankan rumah tangga tak mengenal lelah” Aku menyela. ”Betul, aku juga sangat menghormatinya sebagai wanita, ia bisa setegar itu. Tapi warga sudah muak melihat penderitaannya terus menerus. Mengapa ia tak segera menceraikan Hamidan ? Apa ia takut menjanda ?” tandasnya. ”Mungkin saja, mereka kan tergolong baru mengarungi bahtera rumah tangga, sedang persepsi orang sini masih negatif terhadap janda”. Rifki menyambut dengan senyum kecut.
***

Tak sempat lagi memang mengembalikan keharmonisan rumah tangga seindah masa pacaran dulu. Kabar lagi menyebutkan, kali ini aku menaruh percaya penuh karena yang menyampaikan adalah orang dekat Hamidan, yaitu Mas Handoko penjual angkringan depan rumah Hamidan. Warga biasa mengenalnya dengan sebutan simbah. Walaupun ia masih sebaya Hamidan dan tak jauh beda dengan usiaku, rambut hitamnya sudah memutih yang lumayan, mungkin karena gen. Pasalnya Simbah bisa dibilang karib dari Hamidan sewaktu masih nganggur dulu. Hamidan sering kali bercengkrama hingga curhat ke Simbah. Tak heran jika Simbah tahu banyak sosok, tabiat, sampai rahasia Hamidan.

Seperti penjaja angkringan lain, Simbah masih sibuk menata jajanan dan meramu wedang jahe andalannya. Malam itu entah kenapa warung sepi, mungkin karena sekarang memang tanggal tua. Ini kesempatan untukku menanyakan perihal perubahan Hamidan sepeninggalku sejauh yang ia ketahui. Aku membuka dengan sapaan akrab sembari memesan makanan kecil beserta wedang jahe panas teman ngobrol. ”Wah, mantap nih campuran sajiannya” ”Ya, itu kan memang kombinasi khas angkringan” dengan nada merendah. Obrolan semakin mengasyikkan, membuat saat yang tepat beralih ke topik utama. ”Kang, Si Hamidan kok jarang pulang sih? Dulu ia tak begitu, apa masalahnya ?” Tersentak bersama tanyaku, Simbah cepat – cepat menaruh ceret berisikan wedang teh terkesan terkejut. ”Emm, anu, apa itu, saya kok kurang tahu”. Seperti menyembunyikan sesuatu, aku terus mengorek sampai ia menyerah dan terus terang.

Ia mengaku ”Saya memang tahu banyak masalah keluarga Hamidan. Saya juga sudah tak tahan lagi melihat banyaknya tipu muslihat Hamidan membohongi Istrinya, ia membuat keretakan dalam rumah tangganya sendiri” ”Memang apa yang dilakukan” ”Saya juga heran, katanya ia menjual produk sampingan yang masih jarang dengan omzet besar, bahkan ia berujar melebihi gaji bulanan dari perusahaan selulernya” ”Apa ia tak pernah cerita banyak tentang kerja sampingannya itu?” Tanyaku terus mengorek lebih jauh sambil menyantap pisang goreng hangat. ”Ia hanya mengungkapkan tentang kesuksesan penjualan saja, tapi saya juga belum pernah melihat produknya, kalau sedang untung besar ia sering mampir ke sini dengan amplop, katanya sebagai tanda bersyukur”.

Aku merekam jelas kata – kata yang keluar dari Simbah itu, jejak kehidupan beserta kepadatan dan kesibukan, apalagi bergelimang harta benda terus menerus membutakan mata hati Hamidan, itu yang berhasil ku tangkap dari pembicaraanku bersama Simbah. Untungnya Simbah juga mengerti kondisi terkini istri sahabat karibnya itu, ”gilanya ia pada harta atau jangan – jangan wanita ?” sempat terbesit dalam pikiranku. Sekali lagi Tuhan mengujinya dengan berbagai masalah yang seakan tiada mau berhenti, Tanti harus menanggung penderitaan pedihnya terlilit hutang. Setahu aku ia wanita yang tak bersikap hedonis, namun usut punya usut Suaminya sudah tak lagi memberi uang untuk belanja keluarga. Entah itu belanja untuk anak apalagi untuk keperluan istrinya seperti kebutuhan wanita.

Sungguh memprihatinkan karena diam – diam Tanti meminjam sana sini mulai dari bank, dinas pemerintah yang bersangkutan, sampai pada mantan tempat kerjanya dulu. Padahal jika dihitung secara cermat, uang yang ia peroleh masih belum cukup untuk kebutuhan harian. Menyimak pertumbuhan alami anak yang semakin menunjukkan perkembangan tentu sangat berat beban yang ditanggungnya.

Banyak omongan, nasehat, uneg – uneg tetangga yang menganjurkan untuk menelisik keadaan Hamidan yang harus bertanggung jawab sesuai apa yang pernah ia janjikan dulu ketika prosesi pernikahan. Wanita adalah makhluk yang sesuai kodratnya diciptakan dengan kasih sayang dalam balutan belaian yang gemulai namun tersimpan eksotika keindahan terkadang memiliki emosi ketahanan tersendiri yang tak dimiliki lawan jenisnya.
***

Entah apa aku sedang bermimpi, seorang tamu dengan wajah kuyu korban ketelantaran biadab mengetuk pintu rumah ku. Aku sendiri masih dalam kondisi yang belum stabil setelah semalam begadang, hanya basuhan air yang menyadarkan bahwa wanita yang tengah kusambut adalah Tanti. Belum sempat kusambut dengan kata, ia mendahului pembicaraan ”Saya datang untuk menyampaikan maaf atas kelakuan saya akhir – akhir ini terutama kepada Mas”, aku seperti tak kuasa mereguk mendengar sejenak pengakuan itu. ”Saya tahu selama ini, Mas sudah sangat perhatian, ingin membantu banyak masalah keluarga kami, sama seperti tetangga lain yang silih berganti peduli serta merangkul anak saya”. Sebelum ia melanjutkan lebih jauh, kupotong pembicaraan menghindari penyesalan lebih yang sama sekali tak kuinginkan. ”Wajar bila hatiku terutama tak kuasa menahan hasrat untuk menolong. Munculnya penderitaan yang tak kunjung purna, Aku siap menyokong apabila dibutuhkan”, ”Kami banyak merepotkan, membuat ribut kondisi kondusif kampung, mungkin saya akan mengambil langkah akhir”. Wanita itu berkaca – kaca dihadapanku, berkerumun air mata namun enggan menetes melewati penggalan ruas – ruas melainkan berpusar dalam tergirisnya batin. Langkah akhir yang ia katakan membuatku semakin takut sekaligus pilu tentang persepsi yang rancu. ”Apakah ia akan meninggalkan kampung beserta semua kenangan, atau pilihan cerai, atau jangan jangan menyudahi keributannya dalam ketenangan abadi ?”

Aku serasa berada pada posisi tak meyakinkan. Jika kukatakan bahwa simbol pernikahan adalah perwujudan kasih sayang antara suami istri mungkin akan sangat memukul suasana kala itu. Aku benar – benar terpaku hingga suara mobil melintas dan berhenti. Keluar dari dalamnya sesosok lelaki dan wanita bergandengan mesra. Lelaki itu kukenal tak lain ialah Hamidan, namun wanita molek itu siapa ?... .

Sementara aku masih melongok lewat kaca jendela, tiba – tiba Tanti berlari keluar rumah dengan mata yang masih berkaca – kaca, menampar muka suaminya. Hamidan terkejut ”Tak sopan sekali, suami yang lelah bekerja, kau sambut dengan cara itu”. Amarah Tanti semakin memuncak dan menampar suaminya itu sekali lagi. Ia seperti orang saycho, tak peduli dengan banyak perhatian kumpulan warga. Aku merasa prihatin, menghampiri mereka.
***

Betapa terkejut Hamidan saat kami berhadapan, terheran tak percaya, wajahnya tersipu malu, balasan amarah pada Tanti terhenti sejenak dalam mulut yang bergetar. Aku bisa melihat paras bersalah karena aku hafal sosoknya sejak kami satu rumah dulu, ia tak bisa menyembunyikan itu.

Ya, Hamidan merupakan adik kandung ku sendiri. Sejak kecil kami terbiasa hidup dengan pengasuh. Orang tua kami menghabiskan waktunya dengan kesibukan kerja masing – masing, membuat kami belajar dan bermain bersama lemahnya perhatian. Sungguh ironis, sosok yang pernah kumanja dan kubelai berubah tabiat menjadi sosok arogan.

Perseteruan itu terhenti sejenak, dan dengan terbata - bata Tanti mengucapkan ”Aku tak mau mengorbankan Annisa, pernikahan bukan hanya sekedar simbol cinta, namun perwujudan nyata cinta, aku memutuskan agar kita mengambil jalan masing – masing”. Dengan sekuat tenaga Tanti melempar cincin kawinnya ke muka Hamidan. Memang berat, namun aku lega mendengarnya.*

Yogyakarta, September 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar