Senin, 27 Juli 2009

Cerpen Dahsyat 2

Bukan Sekedar Simbol

Gerak – gerik mencurigakan patut ditujukan untuk Hamidan bersama seorang teman sebayanya. Bahkan kemarin malam ia pergi dengan mobil kijang mewah terkesan terburu – buru. Aku memang tak melihat jelas perihal kesibukannya keluar masuk mobil dan rumah. Belum sempat ku menghampirinya ia sudah pergi. Dia memang orang super sibuk, jarang di rumah, bahkan untuk menyapa istri dan anaknya. Menurut pengakuan istrinya Tanti, Hamidan sedang dipromosikan menjadi asisten manajer cabang di perusahannya. Tak heran jika orangnya memang sibuk, pasalnya perusahaan tempat bernaung Hamidan adalah perusahaan operator seluler ternama, salah satu dari empat operator yang menguasai pasar telekomunikasi nusantara. Sering kali Hamidan keluar kota mengurus keperluan administratif, membuat keluarganya terabaikan. ”Aku salut dengan kegigihan dan ketabahan Tanti, ia mampu mengurus si kecil Annisa di tengah kesibukan suami tanpa pembantu, apa itu yang dinamakan cinta?”.

Menurut keterangan teman lamaku, Rifki ia pernah melihat belum lama ini, Hamidan di salah satu klub malam bersama teman – teman pria dan wanita, seakan menghiraukan ada wanita sebagai simbol cintanya. Semenjak itu Tanti jarang keluar rumah, ia juga tak pernah terlihat lagi di forum pengajian ataupun arisan ibu – ibu. ”Ya, mungkin belum jelas mengapa warga terheran – heran dengan perangai Hamidan sekarang”. Sebelumnya ia adalah pengangguran musiman, ia bekerja serabutan. Harianya dilakukan di kedai kopi angkringan sedarhana depan rumah, Rumah tangga harmonis menjadi pegangan akan simbol pernikahan. Beruntung ia masih punya sebidang tanah luas warisan kedua orang tua yang sangat sayang padanya. Terkadang ia jual sebagian lahannya, atau disewakan untuk menyambung hidup keluarga.

Suatu saat ia ditawar seorang kawan bekerja di sebuah perusahaan seluler. Kerja keras bergelut masalah ia tekuni hingga mencapai posisi sekarang. Tapi tiada disangka, rentetan setiap bagian pekerjaan yang pernah dijalani, menyisakan masalah berkelanjutan. Segelintir pihak banyak menggoda untuk kepentingan dan kepuasan sesaat, kebanyakan warga menyebut demikian. Aku sudah lama tak pulang dari perantauan, sehingga tak tahu perkembangan. Penasaran, kusambangi kediaman Tanti. Mungkin sedikit berlebihan, namun apa boleh buat aku terlanjur miris meratapi nasib wanita satu ini.

Menyatakan sekedar bersilaturahmi, tak sengaja mungkin dalam penyampaianku sedikit melukainya. Ia sontak terjenggirat ”keluar Mas, maaf rumah ini tertutup untuk orang – orang iseng tak berkepentingan” ”Maaf, bukan maksudku” belum selesai ku meminta maaf, ia mendorongku keluar. Aku yang merasa bersalah tak mampu mengelak, pasrah saja mendapati perlakuan itu, ”daripada membuat keributan konyol ?” batinku.

Terkejut dan tak terduga, wanita yang biasa ku kenal sopan, tiba – tiba berubah sebegitu drastisnya. Tempramen tinggi kiranya masih meliputi Tanti untuk hari – hari berikutnya, sempat ketika suaminya pulang istirahat sejenak, perseturuan tak terhindarkan. Hawa panas rasanya betah dan tak rela menguap. Sungguh petang yang menggegerkan warga. Hamidan tak henti – hentinya melukai hati Tanti, ia lantas pergi hingga lama tak pernah kembali. Perempuan mana yang tak menangis, ia harus menanggung beban berat, mengasuh anak semata wayang sendirian.

Manggantung nasibnya tanpa status yang jelas. Kebahagiaan pernikahan hanya menyapa sekejap sebelum aral menghampirinya. Ingin sekali aku membantunya mengasuh buah hati yang mulai rewel ketika proses pertumbuhan. Namun aku ragu bila menyinggungnya kembali. ”Dia bersikap seperti itu, tak lain untuk masa depan anaknya”, tiba – tiba Rifki menyambangiku dengan sepuntung rokok mentol. ”Sampai mengabaikan segalanya? Maksudmu?” ”Jelas, ia takut melihat anak – anak broken home yang sering kurang kasih sayang sampai terjerumus ke lembah hitam narkoba. Lihat saja tawaran warga yang menganjurkannya mengadu ke pihak berwajib dengan tuduhan KDRT tidak pernah digubris.” ”Itulah kecintaan seorang ibu terhadap anaknya, keinginan Tanti tetap terus mempertahankan rumah tangga tak mengenal lelah” Aku menyela. ”Betul, aku juga sangat menghormatinya sebagai wanita, ia bisa setegar itu. Tapi warga sudah muak melihat penderitaannya terus menerus. Mengapa ia tak segera menceraikan Hamidan ? Apa ia takut menjanda ?” tandasnya. ”Mungkin saja, mereka kan tergolong baru mengarungi bahtera rumah tangga, sedang persepsi orang sini masih negatif terhadap janda”. Rifki menyambut dengan senyum kecut.
***

Tak sempat lagi memang mengembalikan keharmonisan rumah tangga seindah masa pacaran dulu. Kabar lagi menyebutkan, kali ini aku menaruh percaya penuh karena yang menyampaikan adalah orang dekat Hamidan, yaitu Mas Handoko penjual angkringan depan rumah Hamidan. Warga biasa mengenalnya dengan sebutan simbah. Walaupun ia masih sebaya Hamidan dan tak jauh beda dengan usiaku, rambut hitamnya sudah memutih yang lumayan, mungkin karena gen. Pasalnya Simbah bisa dibilang karib dari Hamidan sewaktu masih nganggur dulu. Hamidan sering kali bercengkrama hingga curhat ke Simbah. Tak heran jika Simbah tahu banyak sosok, tabiat, sampai rahasia Hamidan.

Seperti penjaja angkringan lain, Simbah masih sibuk menata jajanan dan meramu wedang jahe andalannya. Malam itu entah kenapa warung sepi, mungkin karena sekarang memang tanggal tua. Ini kesempatan untukku menanyakan perihal perubahan Hamidan sepeninggalku sejauh yang ia ketahui. Aku membuka dengan sapaan akrab sembari memesan makanan kecil beserta wedang jahe panas teman ngobrol. ”Wah, mantap nih campuran sajiannya” ”Ya, itu kan memang kombinasi khas angkringan” dengan nada merendah. Obrolan semakin mengasyikkan, membuat saat yang tepat beralih ke topik utama. ”Kang, Si Hamidan kok jarang pulang sih? Dulu ia tak begitu, apa masalahnya ?” Tersentak bersama tanyaku, Simbah cepat – cepat menaruh ceret berisikan wedang teh terkesan terkejut. ”Emm, anu, apa itu, saya kok kurang tahu”. Seperti menyembunyikan sesuatu, aku terus mengorek sampai ia menyerah dan terus terang.

Ia mengaku ”Saya memang tahu banyak masalah keluarga Hamidan. Saya juga sudah tak tahan lagi melihat banyaknya tipu muslihat Hamidan membohongi Istrinya, ia membuat keretakan dalam rumah tangganya sendiri” ”Memang apa yang dilakukan” ”Saya juga heran, katanya ia menjual produk sampingan yang masih jarang dengan omzet besar, bahkan ia berujar melebihi gaji bulanan dari perusahaan selulernya” ”Apa ia tak pernah cerita banyak tentang kerja sampingannya itu?” Tanyaku terus mengorek lebih jauh sambil menyantap pisang goreng hangat. ”Ia hanya mengungkapkan tentang kesuksesan penjualan saja, tapi saya juga belum pernah melihat produknya, kalau sedang untung besar ia sering mampir ke sini dengan amplop, katanya sebagai tanda bersyukur”.

Aku merekam jelas kata – kata yang keluar dari Simbah itu, jejak kehidupan beserta kepadatan dan kesibukan, apalagi bergelimang harta benda terus menerus membutakan mata hati Hamidan, itu yang berhasil ku tangkap dari pembicaraanku bersama Simbah. Untungnya Simbah juga mengerti kondisi terkini istri sahabat karibnya itu, ”gilanya ia pada harta atau jangan – jangan wanita ?” sempat terbesit dalam pikiranku. Sekali lagi Tuhan mengujinya dengan berbagai masalah yang seakan tiada mau berhenti, Tanti harus menanggung penderitaan pedihnya terlilit hutang. Setahu aku ia wanita yang tak bersikap hedonis, namun usut punya usut Suaminya sudah tak lagi memberi uang untuk belanja keluarga. Entah itu belanja untuk anak apalagi untuk keperluan istrinya seperti kebutuhan wanita.

Sungguh memprihatinkan karena diam – diam Tanti meminjam sana sini mulai dari bank, dinas pemerintah yang bersangkutan, sampai pada mantan tempat kerjanya dulu. Padahal jika dihitung secara cermat, uang yang ia peroleh masih belum cukup untuk kebutuhan harian. Menyimak pertumbuhan alami anak yang semakin menunjukkan perkembangan tentu sangat berat beban yang ditanggungnya.

Banyak omongan, nasehat, uneg – uneg tetangga yang menganjurkan untuk menelisik keadaan Hamidan yang harus bertanggung jawab sesuai apa yang pernah ia janjikan dulu ketika prosesi pernikahan. Wanita adalah makhluk yang sesuai kodratnya diciptakan dengan kasih sayang dalam balutan belaian yang gemulai namun tersimpan eksotika keindahan terkadang memiliki emosi ketahanan tersendiri yang tak dimiliki lawan jenisnya.
***

Entah apa aku sedang bermimpi, seorang tamu dengan wajah kuyu korban ketelantaran biadab mengetuk pintu rumah ku. Aku sendiri masih dalam kondisi yang belum stabil setelah semalam begadang, hanya basuhan air yang menyadarkan bahwa wanita yang tengah kusambut adalah Tanti. Belum sempat kusambut dengan kata, ia mendahului pembicaraan ”Saya datang untuk menyampaikan maaf atas kelakuan saya akhir – akhir ini terutama kepada Mas”, aku seperti tak kuasa mereguk mendengar sejenak pengakuan itu. ”Saya tahu selama ini, Mas sudah sangat perhatian, ingin membantu banyak masalah keluarga kami, sama seperti tetangga lain yang silih berganti peduli serta merangkul anak saya”. Sebelum ia melanjutkan lebih jauh, kupotong pembicaraan menghindari penyesalan lebih yang sama sekali tak kuinginkan. ”Wajar bila hatiku terutama tak kuasa menahan hasrat untuk menolong. Munculnya penderitaan yang tak kunjung purna, Aku siap menyokong apabila dibutuhkan”, ”Kami banyak merepotkan, membuat ribut kondisi kondusif kampung, mungkin saya akan mengambil langkah akhir”. Wanita itu berkaca – kaca dihadapanku, berkerumun air mata namun enggan menetes melewati penggalan ruas – ruas melainkan berpusar dalam tergirisnya batin. Langkah akhir yang ia katakan membuatku semakin takut sekaligus pilu tentang persepsi yang rancu. ”Apakah ia akan meninggalkan kampung beserta semua kenangan, atau pilihan cerai, atau jangan jangan menyudahi keributannya dalam ketenangan abadi ?”

Aku serasa berada pada posisi tak meyakinkan. Jika kukatakan bahwa simbol pernikahan adalah perwujudan kasih sayang antara suami istri mungkin akan sangat memukul suasana kala itu. Aku benar – benar terpaku hingga suara mobil melintas dan berhenti. Keluar dari dalamnya sesosok lelaki dan wanita bergandengan mesra. Lelaki itu kukenal tak lain ialah Hamidan, namun wanita molek itu siapa ?... .

Sementara aku masih melongok lewat kaca jendela, tiba – tiba Tanti berlari keluar rumah dengan mata yang masih berkaca – kaca, menampar muka suaminya. Hamidan terkejut ”Tak sopan sekali, suami yang lelah bekerja, kau sambut dengan cara itu”. Amarah Tanti semakin memuncak dan menampar suaminya itu sekali lagi. Ia seperti orang saycho, tak peduli dengan banyak perhatian kumpulan warga. Aku merasa prihatin, menghampiri mereka.
***

Betapa terkejut Hamidan saat kami berhadapan, terheran tak percaya, wajahnya tersipu malu, balasan amarah pada Tanti terhenti sejenak dalam mulut yang bergetar. Aku bisa melihat paras bersalah karena aku hafal sosoknya sejak kami satu rumah dulu, ia tak bisa menyembunyikan itu.

Ya, Hamidan merupakan adik kandung ku sendiri. Sejak kecil kami terbiasa hidup dengan pengasuh. Orang tua kami menghabiskan waktunya dengan kesibukan kerja masing – masing, membuat kami belajar dan bermain bersama lemahnya perhatian. Sungguh ironis, sosok yang pernah kumanja dan kubelai berubah tabiat menjadi sosok arogan.

Perseteruan itu terhenti sejenak, dan dengan terbata - bata Tanti mengucapkan ”Aku tak mau mengorbankan Annisa, pernikahan bukan hanya sekedar simbol cinta, namun perwujudan nyata cinta, aku memutuskan agar kita mengambil jalan masing – masing”. Dengan sekuat tenaga Tanti melempar cincin kawinnya ke muka Hamidan. Memang berat, namun aku lega mendengarnya.*

Yogyakarta, September 2008

Cerpen Dahsyat 1

Jalan Tak Bermakna

Kupejamkan mata lalu kubuka kembali, masih tak percaya puluhan pasang mata melihatku ketakutan. Suasana kamarku begitu ramai, penuh bising akibat kebanyakan orang yang berkunjung. Aku rasa mereka sedang membicarakan ku, lalu aku coba menggerakkan tanganku mencoba mengusap wajah ini yang gatal akibat gigitan nyamuk. Betapa terkejutnya aku melihat seluruh tanganku terikat pada tiang – tiang sudut tempat tidur. Kaki ini juga tak beda halnya, aku mulai meronta di tempat tidur. Aku terbaring lemas tak berdaya, ketika Bibi Rosida mendekat seraya berkata ”tenang, tenang tidak ada apa – apa kok, Den, Den Ragil seharian ini tidak makan, lekas makan ya biar Bibi suapin”. Aku tak ingat sama sekali apa yang sebenarnya terjadi, aku hanya menuruti perkataan Bibi. Bingung dan mungkin hanya pasrah yang bisa kulakukan. Aku tertidur dalam malam yang senyap.
Paginya aku terlihat berbeda, rupanya seluruh anggota tubuh yang tadinya terikat telah bebas. Aku beranjak dari tempat tidur, bertemu Bibi yang menyapaku seperti biasa. Namun tetap saja bagiku seperti ada ketidakberesan. Aku keluar rumah yang sederhana tempat tinggalku diliputi perasaan linglung. Aku menatap kawanan anak kecil yang mereka balas pula dengan tawa sindiran bersambut olokan padaku. Geram rasanya diperlakukan seperti orang tidak berguna.
Sepanjang jalan yang kulalui mengapa semua orang memperhatikanku aneh ?, tapi rasanya cuek sajalah. ”Ada apa sebenarnya ini ?” Aku mengumpat, membual, berlari hingga terjatuh dalam persimpangan pikiranku sendiri. Sejenak ku duduk di sebuah pos ronda milik warga sebelah kompleks. Tiba – tiba vertigo hebat melanda, tangan ini kubiarkan memberikan belaian kasih sayangnya, tapi kali ini kusuruh dengan sedikit jambakan. Kubiarkan ia mengekspresikan kegelisahannya. Aku berteriak keras hingga tak peduli lagi pada orang – orang di sekitar yang serentak memperhatikan.
Tiba – tiba kuteringat lagu berjudul ”Air Mata” milik salah satu grup band tenar negeri ini yang menganjurkan mengungkapkan perasaan sedih, kalut, sampai marah melalui tangisan. Namun aku masih tegar menahan sakit kepalaku. Dari kejauhan kulihat lelaki bertubuh atletis, dengan janggut lebatnya ”Oh, itu Bachtiar” berlari menuju ke arahku. Mungkin karena berita orang – orang yang mendengar teriakanku tadi. Bachtiar adalah sahabatku yang dulu sering main ke rumah, tapi entah apa masalahnya Ia sekarang sudah jarang terlihat kembali. ”Apa karena ia ketahuan mencuri tongseng sapi masakan Bibi yang terkenal lezat itu ?”. Aku rasa tidak, karena walaupun ia bertubuh kekar seperti preman, sebenarnya hatinya lembut. Coba saja putarkan film sendu, lihat reaksinya pasti ia terharu. Bachtiar memegangi dan menutup mataku dengan tangan kanannya. Aku memberontak seraya mengucapkan ”kau kira aku ini kesurupan ?”. ”Sabar, sabar” ”mengapa setiap orang yang berada di sisiku selalu hanya bisanya bilang tenang, sabar! Memang tak ada perbendaharaan kata lainnya ?”. ”Bukan itu maksudku, mungkin karena akhir – akhir ini kelakuanmu sering tak terkontrol. Kadang berteriak kesakitan, sering pula berloncatan kegirangan. Sebetulnya apa masalahmu ?”. ”Entahlah, setelah peristiwa yang aku pun tak ingat, membuatku rasanya tak berada dalam raga sebenarnya”. ”Mungkin kau harus segera dibawa ke psikiater”, ”Aku tak yakin mereka bisa mengobati masalahku”.
***
Lama aku meninggalkan Bachtiar yang miris melihat kondisiku saat ini kembali pulang dan menanyakan ihwal ketidakjelasan tabiatku. Tapi belum sempat ku menanyakannya, kulihat Bibi Rosida menangis dalam doa purna sembahyang. Aku menunggu di ruang tengah, melihat betapa kelam sebenarnya hunian ini, banyak atap yang retak disambangi sarang laba – laba dan jenis serangga lainnya. Kemudian berpaling aku pada sebuah foto keluarga terpajang bersih di dinding, kuambil foto itu lalu kucermati dengan seksama. Seakan pernah bertemu ketiga sosok yang sedang berpose ceria, dan yang mengherankan aku juga berada di tengah – tengah mereka. Sepertinya aku tahu siapa mereka, tiba – tiba Bibi menghampiri lantas memegang pundakku. Aku terkejut lantaran sepertinya baru kali ini ekspresi Bibi terpancar sangat serius seperti itu. ”Alangkah malangnya kau Den Ragil, kenyataan telah membuatmu hilang akan segalanya”. Aku menatap raut wajah wanita setengah baya itu, di sisi garis – garisnya tetap saja senantiasa mencerminkan bahwa ia memang wanita berwibawa, tapi aku tak mengerti sama sekali apa yang dibicarakan Bibi”.
Ia menyambut foto dari tanganku menunjukkan ketiga orang yang bersamaku dalam bingkai foto. Bibi menceritakan dengan nada gemetar ”Kau pasti ingat mereka, mereka adalah keluarga yang harmonis, ini ibu, ayah, dan adik perempuanmu Den”. Tanpa sadar aku tersenyum lebar, tapi ini bukan senyuman manis oleh karena hati ini ingin menjerit tak kuasa menahan luapan kepedihan. Bibi memelukku ”Mereka adalah orang – orang terbaik yang telah kembali dalam dekapan-Nya”. Sontak aku tercengang, walaupun ia menahan kesedihannya namun aku bisa merasakan. Sebetulnya aku ingin protes, namun ku tak tahu siapa yang harus dituju. Derita yang pernah terekam oleh pikiran ini tiba – tiba diputar kembali terpampang jelas. Aku melihat bukit yang indah bermahkotakan warna – warni bunga membentuk seperti karpet tebal mempesona. Apabila aku toleh di sisi sebaliknya benar – benar menawarkan hamparan laut indah dengan kilauan bak mutiara. Aku tepat duduk di belakang mobil yang sedang ku tumpangi bersama anggota keluarga lainnya. Tapi sayang aku tak ingat kelanjutannya. Gambar itu tak memberikan kejelasan, seperti roll film klasik yang telah usang hanya melukiskan garis – garis hitam putih.
***
Aku tak percaya seperti ada yang menarik tubuh ini ke sebuah gudang di belakang rumah yang memang tidak pernah di buka setelah sekian lama. Aku masuk kedalamnya melihat ruangan yang gelap, hanya dibantu cahaya luar dari sedikit ventilasi udara yang kondisinya reot. Bau busuk bangkai segala jenis serangga dan binatang pengerat lainnya aku abaikan, demi melayani aduan penasaran ini. Banyak sekali kardus bekas yang setelah dibuka berisikan buku – buku tulis yang kusam. Catatan berupa kertas ataupun notebook juga banyak yang berserakan di lantai yang tertutup debu tebal.
Aku buka salah kardus yang memang berisikan buku. Aku mengenali tulisan – tulisan dalam buku cetak itu, meski tintanya mulai memudar, mungkin akibat atap gudang yang berlubang sehingga sangat mungkin akan terkena tetesan guyuran hujan. Tak sengaja aku menjegal salah satu kardus besar sisa bungkus televisi dengan merk ternama, memuntahkan semua isinya. Tetap dengan tema yang serupa, aku ambil salah satu yang berbeda. Sebuah stopmap biru tua bermukim surat – surat berharga, piagam penghargaan, sertifikat wisuda beserta foto. Aku terbelalak melihat sosok tersenyum dalam foto, tak lain ialah aku sendiri. Piagam yang bertuliskan ”Penghargaan ini diberikan atas nama Ragil Wijanarko oleh raihan IPK 3,5 fakultas S1 Ekonomi Program Pendidikan Akuntansi Universitas Burhanudin”. Ya Tuhan, ternyata aku adalah sarjana yang cukup pandai. Ironis sekali, kini aku tak mampu berkelakuan lagi halnya seorang sosok yang pernah mengenyam pendidikan hingga jenjang sarjana. Kenangan – kenangan tentang aku sewaktu sekolah dulu ternyata tersimpan semua di balik gudang tua ini. Tapi ada apa gerangan di balik semuanya ? seharusnya prestasi ini membanggakan bukan ?.
Justru disaat keadaan pelik, aku tambah pusing. ”Oh tidak, vertigo keparat ini kambuh lagi. Kali ini aku mencoba melepaskannya dengan berlari kencang menelusuri sepanjang jalanan tikus. Aku terhenti ketika kudengar suara dentuman benda keras, sepertinya kecelakaan dahsyat terjadi. Aku kembali berlari menuju arah suara, kutemukan telah banyak orang mengerumuni korban tabrakan tunggal yang dibawa ke tepi jalan. Sebuah motor bebek dan mobil sedan rusak parah. ”Motornya tergilas di bawah mesin mobil dan terseret hingga keduanya menabrak pagar pembatas yang kemudian terguling bersama”. Itulah yang kudengar dari omongan orang di depanku, mungkin ia salah seorang saksi kecelakaan. Aku mencoba melihat keadaan mereka sungguh memprihatinkan.
Ku hela nafas panjang, apalagi melihat kondisi jasad korban yang mengenaskan dan sebaiknya tak kuceritakan secara gamblang. Ya, tepat sekali kecelakaan itu telah merenggut nyawa dua orang dalam mobil. Mereka tewas seketika yaitu sang pengemudi dan seorang wanita yang duduk di jok depan. Sedang dua yang lain beserta pengemudi motor kabarnya mengalami luka – luka dan dilarikan ke rumah sakit. Seperti kamuflase saja, sangat persis seperti apa yang pernah kuingat mungkin hanya beda waktu saja kurasa. Apakah mungkin tragedi ini sebagai lanjutan gambaran yang tak jelas itu?. Suasana benar – benar kalut, kerumunan orang menyengir bahkan wanita di sebelahku harus dipapah temannya karena mual. Beruntung dengan sigap petugas polisi di lapangan dibantu warga segera menutupi kedua mayat tersebut. ”Bagaimana mungkin aku pun pernah mengalami peristiwa serupa ?”.
Aku bertanya pada seseorang yang kuyakini tahu dimana korban lainnya dirujuk. Hasrat ini memacu setiap saraf yang tergerak karena penasaran. Apalagi saat melihat keadaan rumah sakit rujukan yang sederhana, kuyakin pasti dengan infrastruktur yang minim pula untuk sebuah kecelakaan bertaraf maut. Memang tak bisa menyalahkan siapapun, sebab waktu sangat mendesak untuk pertolongan pertama. Aku menunggu cemas di ruang instalasi gawat darurat bersama warga lain yang mengantar korban, menunggu memang sangat membosankan hingga terdengar suara dorongan pintu tempat pemeriksaan korban yang lumayan keras, keluar salah satu dokter yang meminta tolong pada dokter lainnya yang jaga.
Aku berdiri penasaran bertanya bagaimana kelanjutan penanganannya ?. Sesaat menunggu tanpa kepastian, seorang dokter menyampaikan berita duka bahwa seorang penumpang mobil, yaitu sosok balita perempuan tewas kekurangan darah akibat banyaknya darah yang keluar. Sedang seorang anak lelaki hanya luka memar. Ia tampak shock menerima kenyataan, seluruh anggota keluarganya tewas tak terduga. Aku menghampiri anak laki – laki itu dengan ekspresi iba, kupeluk ia mencoba menenangkan.
Beberapa warga mencoba menelusuri keberadaan saudara lain yang mungkin masih ada hubungan darah, namun hasilnya tetap saja nihil. Tak ada pilihan lain, ia harus di diasuh di panti asuhan.
***
Inilah kenyataan, aku masih beruntung walaupun sekarang aku merasa aneh dalam ragaku sendiri, aku masih mempunyai Bibi yang mau mengasuhku. Ketika jalan sering tak menemukan maknanya. Apalah arti sahabat tanpa kepercayaan, apa artinya sarjana tanpa skill, apa artinya keluarga tanpa kasih sayang, dan apa artinya semua tanpa keyakinan.
Barangkali itu menjadikan lecutan bagi aku untuk bangkit dari tidur panjang. Bukannya apa – apa, selama ini aku hanya bisa merepotkan Bibi. Padahal ia juga punya keluarga di kampung, ia punya kehidupan. Mengapa harus melayani aku setiap saat yang sama sekali tak ada untung. Mungkin dulu ia mengabdi pada orang tuaku, namun sekarang ia mengabdi pada siapa?
Sepatutnya aku harus menemukan jalanku sendiri. Kalaupun aku sakit, aku ingin segera sembuh, sembuh dari penyakit misterius ini. Tak ada salahnya aku akan tinggal dalam pelataran yang semua warganya senasib denganku, walaupun akan tersiksa, dan menderita, hidup harus berjalan. Akan kutinggalkan semua hingar bingar sementara untuk kembali normal.

(*)Yogyakarta 2008

Cerpen Dahsyat

DILEMA

“Perjuangan memang tak akan semulus kain sutra, tak juga pernah bisa diprediksikan sesuai keinginan. Namun selama matahari terus menawarkan terangnya, embun pagi masih gemar menyapa, burung – burung tetap menyanyikan lagu merdu, selalu ada harapan dalam menyongsong hari”
Begitulah sebuah puisi lantunan Agung Soeprapto, seorang anak jalanan untuk memotivasi dirinya di waktu pagi setelah melahap nasi bungkus kecil yang dibelinya di pasar, tepatnya warung sembako milik Mbok Iyem. Ya, Agung memang selalu tidur di pasar di kapling Mbok Iyem. Pagi itu Mbok Iyem memberikan sedikit bonus berupa sebuah roti 500-an dan teh panas di plastik bening, karena merasa iba melihat raut wajah Agung yang melas dan menggigil akibat derasnya hujan tadi malam. ”le, kamu nanti mau tidur di sini lagi ?”, ”Yaa pastinya belum tentu Mbok, saya masih ingin cari – cari tempat yang kalau malamnya tidak kehujanan. Sindir Agung” Memang kenapa? ujarnya lirih. ”Oh tidak”. Sebenarnya dalam hati orang tua ini ingin menawarkan tinggal bersamanya, Ia tidak tega melihat nasib Agung yang seorang anak yatim piatu, walaupun secara logika pun Mbok Iyem hanyalah orang miskin dengan gubuk bambu kecil berisi satu kamar tidur dan satu ruang tamu berukuran mini.
Rupanya Agung juga tahu maksud hati Mbok Iyem, tapi pantang baginya menyusahkan orang lain, Ia sudah terbiasa hidup mandiri sejak kecil sepeninggal orang tuanya akibat gempa bumi dua tahun lalu. Waktunya kini terforsir untuk bekerja daripada sekolah. Perlahan Agung meninggalkan warung yang mulai dipadati pembelinya, bergegas menuju agen koran untuk memasarkannya di perempatan – perempatan jalan. Bersama Hartono dan adiknya Rusni, serta teman – teman seperjuangan lainnya menawarkan koran dari pagi hingga sore. Teriknya matahari melalui panas sinarnya di waktu siang yang seakan membakar tubuh, telah melatihnya menjadi anak tangguh.
Setelah menempuh hari melelahkan, mereka beristirahat sejenak di emperan bekas toko plastik, di jalan Ring Road selatan. Tiba – tiba Agung menyeletuk dalam keheningan, ”Hey, bagaimana kalau kita mendirikan semacam institut pendidikan atau lembaga pendidikan kecil?, nanti pengurus dan pesertanya bisa dari teman – teman yang lain. Kita bisa membuat terobosan baru, yakni komunitas intelektual anak jalanan. Daripada hanya menganggur sehabis jualan koran ?!”. ”Kalau aku guru, aku berani ambil ide mu itu. Tapi kita hanya lulusan SMP, adikku SD saja nggak lulus, buat makan saja pas – pasan, apalagi mau buka apa tadi ? Institut apalah itu ?!. Ngawur kamu, seperti orang gede saja” Sahut Hartono. ”Bagaimana bisa tahu kalau belum mencoba ?”. ”Terserahlah, yang penting kalau ada apa – apa, jangan bawa namaku”. Agung terdiam sembari tetap saja memimpikan misinya itu. Dalam benaknya, untuk rencana atau usaha mulia tidak harus mengandalkan uang banyak untuk biaya macam – macam. Tenaga dan pikiran didorong kemauan merupakan modal paling penting, meski bukan sekolah formal.
Ia beranjak meninggalkan Hartono dan Rusni menuju ke tepian sungai perkotaan yang selalu menawarkan aroma busuk akibat sampah yang semakin lama semakin melimpah hingga hampir menutup seluruh saluran airnya. Ia duduk merenung hampir satu jam penuh lamanya. Kemudian ia memutuskan untuk melakukan safar yang dirinya juga tak tahu akan kemana. Agung berfilosofi ”Aku akan menjalankan apa saja, karena pasti akan ada pelajaran dari hal itu. Itulah yang dinamakan sekolah kehidupan”. Setelah hari – hari yang dilalui belum juga menemukan kejelasan, bergumamlah Agung ”Apa benar omongan Hartono, orang seperti aku yang miskin materi memang sulit cari ilmu”. Hinga larut malam Agung hanya berjalan menyusuri jalanan panjang yang penuh sesak oleh mobil orang – orang kaya, bergelimang segala kemewahannya. Sampai ia mendengar ceramah pengajian di suatu masjid megah. Tanpa pikir panjang dan berharap akan pencerahan, Agung mengambil air wudhu dan duduk diantara jama’ah pengajian yang sebagian besar tampak serius.
Dalam fokusnya, tiba – tiba seorang laki – laki kurus, dengan kopiah putih, berlilitkan sorban kotak – kotak menyapa ”Assalammu’alaikum Dik, bisa bicara sebentar?” ”Wa’alaikumsalam”. ”Maaf mengganggu”. ”tidak apa, saya tidak merasa terganggu”, kilahnya. Agung tampak bingung karena lelaki yang kemudian diketahui bernama Aryo yang biasa dipanggil Mas Yok itu langsung menanyakan banyak hal layaknya aparat kepolisian yang sedang mengintrogasi tersangka namun bedanya lebih santai, sehingga lama – lama Agung seperti bertemu teman lama. Sebelumnya Agung sempat curiga, ”mengapa orang dengan pakaian khusuk seperti ini, malah bicara sendiri?! Bukannya memperhatikan, mengapa tidak nanti saja setelah purna?”. Sangat lama pembicaraan itu, hingga tibalah Aryo menerangkan maksud obrolannya yang menjadi poin penting, ”Mau ikut ke kajian ku? Disana kita bisa belajar banyak hal tentang kitab suci. Bukan hanya seperti ini yang bisanya menerangkan garis – garis besar yang orang – orang telah banyak mengerti, bahkan terkesan membosankan, sudah saatnya kita tahu yang sebenarnya secara detail untuk apa kita dilahirkan ke dunia ini”. Karena merasa semakin akrab, dan memang Agung sedang frustrasi dengan kompleksnya masalah kehidupan, merasakan nafas baru. Ia tidak bisa menagak tawaran itu.
Malam selanjutnya ia memenuhi janji Aryo di sebuah rumah sederhana berwarna kuning kecoklatan dengan retakan kecil di berbagai sisi dindingnya yang kiranya adalah rumah kontrakan dengan perabotan yang juga tidak mengesankan bahwa pemiliknya orang berduit. Ternyata benar sesuai dugaan Agung, pengajian itu bernuansa urgen, tertutup, dan sangat rahasia. Bahkan ketika Agung masuk kedalamnya, dengan segera pintu ditutup rapat – rapat sampai dikunci oleh salah seorang teman Aryo. ”Berniat menebar kebaikan mengapa harus rahasia begini?!, Aneh” Gumam Agung. Sesaat menunggu dengan jama’ah yang juga sedikit, tiba – tiba deruan motor sepertinya singgah di halaman rumah. ”Ustadz sudah datang, bersiaplah menerima perubahan besar. Jangan pernah tuk beranjak sedikitpun” bisik Mas Yok serius.
Diawali dengan pembukaan dan sedikit kata pengantar ramah tamah untuk Agung yang kemudian dianggap sebagai tamu kehormatan, berlangsunglah kajian melalui penyampaian yang memikat, membuat Agung betah dan nyaman hingga hari – hari berikutnya. Kemudian memutuskan bergabung dengan kelompok eksklusif itu, walaupun banyak doktrin – doktrin yang di luar ketentuan umum yang bersifat ekstrim tanpa dasar misalnya, namun Agung mendapat perlakuan istimewa akan perekrutan dirinya, bak terlanjur menyelam ke dalam lautan yang indah sampai menemukan indahnya pemandangan yang belum pernah ia lihat dan sulit rasanya untuk kembali ke daratan lagi.
Hari – hari yang ia jalani dalam sebuah organisasi X membuat semangat hidupnya kembali bergairah. Ambisinya dalam mengampu organisasi perlahan lahan bangkit, ketika Agung dipercaya sebagai salah satu pilar urusan kaderisasi. Aryo yang kemudian banyak mengajari ilmunya pada Agung, ”kiranya sama seperti aku mengajakmu, tapi tentunya dengan gayamu sendiri” ucapnya. Agung terdorong menjadikan Mas Yok seperti rais bagi pendamping tugasnya. Ia menganguk dan sepintas saja langsung teringat pada teman – teman jalanannya dulu terutama karibnya, Hartono. ”Mungkin Hartono yang pertama, supaya dia hilangkan hobi keluyurannya sesudah menawarkan koran, yang sama sekali tidak bermanfaat” batinnya. Bergegaslah ia menuju pangkalan anjal, dan ternyata memang benar Hartono bersama yang lain sedang bergurau sambil menghitung bagian hasil kerja kerasnya. ”Har !”. ”What’s, eh... kemana saja bro, lama nggak muncul”. Ditarik lengan sahabatnya itu meninggalkan keasyikan rekan lainnya dan mulailah pembicaraan. ”Santai bro, buat kamu, bisalah”. ”tapi ini serius, bukan main – main” tandas Agung dengan raut wajah sedikit merayu. ”Oke, oke nanti kita lihat, jikalau bisa buat aku alim mengapa tidak kucoba” dengan nada bercanda. Hartono memang anak dengan pergaulan yang luas bahkan sampai anjal – anjal di kota tahu siapa dia. Agung percaya penuh, walaupun dengan bercanda. Ia yakin Hartono bisa masuk organisasi.
Pendekatan melalui kajian pun terlaksana guna memperat kebersamaan anggota kelompok. Hartono yang notabene orang baru hanya bisa termangu tanpa sepatah kata terlontar dari bibirnya. Sementara yang lain sangat antusias dengan berbagai lemparan pertanyaan kepada narasumber. ”Har, itu yang bicara salah satu petinggi kita, dia orang hebat yang telah banyak makan asam garam kehidupan”. ”Memang hebat apanya?” tanya Hartono. ”amatilah cara penyampaiannya yang enak, ilmunya juga sudah tinggilah pokoknya!. Sampai – sampai yang tanya banyak seperti ini, biasanya paling yang merespon 2 atau 3 orang saja” jelas Agung. ”Lantas mengapa aku belum pernah lihat kiprah kelompokmu ini? paling tidak seperti bhakti sosial di masyarakat begitu?” tanyanya lagi tanpa berpaling ke wajah Agung. ”Orang yang bisa masuk sini, tidak lain orang yang memang telah terpilih untuk amanat mulia, kamu harus yakin. Dulu aku juga merasakan hal yang sama seperti yang kamu rasakan sekarang”.
Segmen demi segmen telah dilalui, namun di hati Hartono tetap saja masih mengganjal. Sesekali perasaan takut dan segera menuntaskan kajian semakin mendera. Agung yang duduk di sebelahnya berusaha terus meyakinkan karibnya. Semakin lama Hartono semakin yakin untuk meninggalkan forum, dengan mulai melangkahkan kaki ”Mau kemana ? Kita akan mulai ke bagian inti!” tanya Agung. ”Aku ke kamar mandi dulu, sudah tak tahan rasanya mau buang air” Ia lekas bergegas menuju belakang rumah mencari akal untuk bisa lolos. Ditengah paniknya Hartono, dua orang yang tak dikenal tiba – tiba memukulnya dari belakang hingga pingsan. Sebab keduanya melihat inisiatif Hartono yang mencurigakan.
***
Hartono tersadar keesokan harinya ketika kepalanya masih terasa pusing. Ia terperanjat saat melihat banyaknya peralatan – peralatan elektronika seperti kabel berukuran panjang, berbagai rangkaian yang ia pun juga tak tahu, dan yang semakin membuatnya yakin akan dugaannya ketika ia melihat banyaknya amunisi bahan peledak dalam karung – karung dengan tulisan ”Awas Berbahaya”. Ia disekap dengan tangan dan kaki yang terikat. Balutan tali yang super kuat, penat serasa penuh sesak membuatnya tambah tersiksa. Pengalaman teman jalanannya dulu yang juga pernah terhasut omongan yang tidak jelas sehingga sampai kini tak tahu keberadaanya membuatkan pelajaran untuk segera bisa lolos melarikan diri walaupun dalam kondisi tubuh yang masih labil.
Dalam kegelapan seperti ruang bawah tanah, muncullah tiga orang dengan tutup kepala hitam, salah seorang dari mereka mengatakan apa dan bagaimana sebenarnya organisasi ini. Ia terus meyakinkan Hartono dengan kata – kata yang bermaksud meminangnya lagi dengan cara halus. Namun Hartono tetap tak memperhatikan, yang ia pikirkan hanya bagaimana caranya lolos dari lubang buaya ini, ia terus bersikap meronta dengan sisa tenaganya. Melihat tingkah Hartono, membuat tiga orang anggota ini naik pitam, mereka memukuli, menendang seraya mengatakan yang keluar dari mulut salah satunya ”tak ada ampun buat pengkhianat, laknat kau !”. Sayangnya Hartono tetap teguh atas pendiriannya.
Melihat kasus itu, pimpinan cabang segera mengundang Agung ke markas. Agung dengan sigap menuju markas, dan sesampainya, ia terkejut ketika disana telah berkumpul dewan – dewan cabang yang lain termasuk Aryo. Mereka membuat penjelasan kepada Agung atas keengganan temannya Hartono masuk sebagai kader. ”Mungkin kamu tidak akan percaya, sesuai perjanjian yang pernah kita deklarasikan dua tahun lalu bahwa barang siapa yang menolak menjadi kader setelah ia mengetahui semua rahasia organisasi. Maka orang yang membawa harus bertanggung jawab menghabisinya”, ungkap Aryo. Namun tampaknya Agung belum mengerti apa yang dijelaskan. Kemudian Aryo secara tegas mengatakan kepada Agung bahwa singkatnya ia harus membunuh sohibnya itu.
Agung sesaat termenung tidak percaya, tubuhnya kaku, jantungnya seakan berhenti sejenak, perasaan pun menjadi kalut. Tampak bingung terpancar dari garis wajahnya, ia mencoba memprotes ”mengapa aku baru tahu sekarang, setelah sekian lama menjadi bagian urusan kaderisasi?” Aryo berusaha menenangkan, mencoba menjelaskan kembali bahwa semuanya demi dakwah, ”ini adalah amanat, memang sulit untuk yang pertama kali, tapi ia akan menjadi penghalang misi mulia kita”. Dan yang lebih membuat tragisnya lagi, eksekusi harus dilaksanakan hari itu juga, tidak boleh ada penundaan. Agung beranjak pergi dari ruangan menyendiri di salah satu sudut rumah. Pikirannya kacau sejadi jadinya, ”antara sahabat dan amanah” terus saja yang terngiang membanjiri dalam benaknya. Yang kemudian bisikan amanat lah yang menang mengendalikan pikirannya. Aryo kembali menghampiri Agung setelah berjam jam menyendiri. Sambil mengucapkan bahwa ”Hartono akan menjadi syuhada akan kematiannya nanti, ia akan hidup di surga”.
Kalimat itu makin menambah kepercayaan Agung untuk mengeksekusi kawannya. Mereka berdua berjalan menuju ruang dimana Hartono disekap. Disana Hartono terlihat ditutup matanya dengan secerca kain hitam, sedang dipukuli oleh tiga orang berbadan tegap sampai kesakitan guna mempermudah proses eksekusi. Agung didampingi Aryo mendekat dan dihadapkan pada Hartono yang sudah tampak lelah. Tiga orang yang menyiksa Hartono sebelumnya, memberi kode menyerahkan tindakan berikutnya, dan segera meninggalkan mereka bertiga. Pisau tajam dalam genggaman Agung, dengan mata yang mulai berkaca kaca. Aryo lagi – lagi memegang pundak Agung, berbisik ”lakukanlah....!!”. Kemantapan nurani saat itu tak mampu terkalahkan oleh apapun ”Maafkan aku sobat” terucap dalam hati. Lalu ia berteriak takbir seraya menghunuskan pisau tepat ke bagian ulu hati Hartono. Hartono jatuh tersungkur dengan kondisi yang masih terikat diatas sebuah kursi. Darah mulai keluar dari bekas tusukan membuatnya meregang nyawa. Air mata deras mulai menghujani pipi Agung, seolah sebagai ungkapan protes akan nasibnya. Entah kekuatan dahsyat apa yang membuatnya tega. Lantunan persahabatan mati ironis tersiksa secara tragis.
***
Sesaat, luapan segala emosi bercampur aduk tak karuan, pikirannya kacau akibat tikaman maut yang dilakukannya. Nasihat dari sesama kader yang lain tak dihiraukannya. Di lain pihak suasana markas menjadi kondusif kembali selang beberapa waktu. Keramaian diskusi bercampur ceramah berisikan motivasi meluluhkan hati para kader. Namun kondisi yang paradoks justru menyelimuti perasaaan Agung. Ia hanya berpikir dan terus berpikir.
Setelah hari – harinya diliputi kegalauan, ia memutuskan keluar dari organisasi X, tapi ia ragu merujuk ke markas besar dan menyatakan itu semua karena konsekuensi berat pasti ditanggungnya. Ia hanya menyampaikan niatnya melalui Aryo yang sudah dianggap seperti keluarga sendiri. Jelaslah Aryo tidak akan berani mengambil resikonya meski Agung telah berjanji bahwasanya ia akan tutup mulut tidak akan membicarakan keberadaan organisasi ini pada siapapun. Manalagi sebagai salah satu tetua, tentu Aryo tidak akan membahayakan kelompoknya sendiri. Lalu bersama berbagai pernyataan, Agung pamit dan meninggalkan semuanya. ”Terima kasih atas bimbingannya selama ini Mas”. ”Sudah sewajarnya kita saling menolong, bukan !” Aryo menyengir.
Sepeninggal Agung sesaat kemudian, Aryo menghubungi beberapa Algojo yang juga sesama anggota guna menghakimi tindakan Agung. Bersama rekannya Aryo mengendarai sepeda motor menunjukkan jalan yang kiranya dilalui korbannya itu, yang pasti belum jauh dari tempat obrolan, disebabkan Agung hanya berjalan kaki. Saat mengintai Agung yang berjalan lesu di jalanan sepi, didukung suasana malam, dikelilingi pohon – pohon perindang yang tinggi, dan tentunya jauh dari pemukiman penduduk beberapa kawanan motor yakin menghampiri yang serta merta melesatkan beberapa tembakan senapan api termasuk Aryo, kemudian meninggalkannya. Agung langsung tersungkur tak berdaya di tepi jalan akibat luka yang cukup serius. Tubuh yang lemah itu pun akhirnya menemui ajal.
***
Sehari setelah kejadian aparat kepolisian menemukan jasad Agung dan mengidentifikasinya. Ketika dilakukan olah TKP, ditemukan secarik kertas yang berisi tulisan dengan tinta hitam yang disinyalir ditulis sehari sebelumnya dan disampaikan kepada Rusni beserta anak jalanan lain yang dulu juga teman Agung.
”Perjuanganku mungkin kan berakhir. Aku tak yakin mampu menatap hari esok bersama matahari pagi. Embun serasa bungkam di sela celah gemerlap bintang kejora. Burung – burung telah menyanyikan lagu sendu untukku. Maafkan aku kawan, aku telah menjerumuskan kalian dalam kubangan hitam. Mungkin juga esok ku kan bersanding lagi dalam pelukan hangatNya, terlelap dalam sunyi yang semoga indah.

Tulisan singkat itu, diakhiri dengan suatu kata bertinta merah pekat yang kiranya ceceran darahnya sendiri dilingkupi oleh bekas tetesan air mata DILEMA.

(*)Yogyakarta, 2008
Sinopsis Cerpen Dilema
Cerita ini mengisahkan tentang seorang anak jalanan remaja beserta jejak kehidupannya yang keras. Memimpikan pengharapan kehidupan yang lebih baik melalui pemikirannya. Ia hidup serba kekurangan materi, untungnya ia masih memiliki semangat yang sangat diandalkan. Namun malangnya ia karena semangat itu disalah artikan menuju perangkap kelam dalam organisasi sesat. Keyakinan paham kelompoknya itu ia tularkan pada karibnya. Ia ajak sahabatnya itu dalam kajian pengenalan. Tetapi kesadaran karibnya akan perkumpulan sesat memutuskan enggan bergabung. Pernyataan itu tentunya membuat konsekuensi yang sangat berat, yaitu hilangnya nyawa melalui tangannya sendiri. Ia sangat terpukul yang kemudian memutuskan keluar dan menerima konsekuensi yang sama.
Agung Soeprapto nama lengkap pemuda heroik ini. Menjual koran di perempatan jalan merupakan kesehariannya. Sewaktu saat ia memikirkan sebuah misi menjadi seorang intelektual. Sayang, Hartono sebagai teman dekat hanya menganggap halnya angin lalu. Menanggapi reaksi sahabatnya itu, menambah gairahnya untuk segera membuktikan. Proses yang ia lalui sangat memberatkan, hingga ia bertemu Aryo dan mengajaknya bergabung dalam sebuah organisasi dakwah. Merasa memperoleh rumah baru, ia mengajak Hartono untuk merasakan juga indahnya kebersamaan.
Diluar dugaan, rupanya Hartono mengelak bergabung dalam kelompok setelah ia mengetahui seluk beluk perkumpulan yang sebenarnya rahasia. Dewan petinggi organisasi mengambil langkah, memanggil Agung untuk mengeksekusi mati kawannya sebagai konsekuensi sesuai peraturan yang pernah dideklarasikan jauh sebelum Agung menjadi kader. Meski sangat berat bagi Agung, mau tak mau ia harus melaksanakan.
Pukulan yang sangat hebat mendera perasaan Agung setelah eksekusi dilaksanakan. Frustrasi berkepanjangan memutuskan Agung hengkang dari organisasi. Tingkahnya yang memang akan sulit diyakinkan kembali membuatnya menerima hukuman yang sama. Agung meninggal dunia dalam penyesalan yang ia ungkapkan dalam tulisan singkat ditujukan bagi kawan jalanannya sesama penjaja surat kabar.