Senin, 27 Juli 2009

Cerpen Dahsyat 1

Jalan Tak Bermakna

Kupejamkan mata lalu kubuka kembali, masih tak percaya puluhan pasang mata melihatku ketakutan. Suasana kamarku begitu ramai, penuh bising akibat kebanyakan orang yang berkunjung. Aku rasa mereka sedang membicarakan ku, lalu aku coba menggerakkan tanganku mencoba mengusap wajah ini yang gatal akibat gigitan nyamuk. Betapa terkejutnya aku melihat seluruh tanganku terikat pada tiang – tiang sudut tempat tidur. Kaki ini juga tak beda halnya, aku mulai meronta di tempat tidur. Aku terbaring lemas tak berdaya, ketika Bibi Rosida mendekat seraya berkata ”tenang, tenang tidak ada apa – apa kok, Den, Den Ragil seharian ini tidak makan, lekas makan ya biar Bibi suapin”. Aku tak ingat sama sekali apa yang sebenarnya terjadi, aku hanya menuruti perkataan Bibi. Bingung dan mungkin hanya pasrah yang bisa kulakukan. Aku tertidur dalam malam yang senyap.
Paginya aku terlihat berbeda, rupanya seluruh anggota tubuh yang tadinya terikat telah bebas. Aku beranjak dari tempat tidur, bertemu Bibi yang menyapaku seperti biasa. Namun tetap saja bagiku seperti ada ketidakberesan. Aku keluar rumah yang sederhana tempat tinggalku diliputi perasaan linglung. Aku menatap kawanan anak kecil yang mereka balas pula dengan tawa sindiran bersambut olokan padaku. Geram rasanya diperlakukan seperti orang tidak berguna.
Sepanjang jalan yang kulalui mengapa semua orang memperhatikanku aneh ?, tapi rasanya cuek sajalah. ”Ada apa sebenarnya ini ?” Aku mengumpat, membual, berlari hingga terjatuh dalam persimpangan pikiranku sendiri. Sejenak ku duduk di sebuah pos ronda milik warga sebelah kompleks. Tiba – tiba vertigo hebat melanda, tangan ini kubiarkan memberikan belaian kasih sayangnya, tapi kali ini kusuruh dengan sedikit jambakan. Kubiarkan ia mengekspresikan kegelisahannya. Aku berteriak keras hingga tak peduli lagi pada orang – orang di sekitar yang serentak memperhatikan.
Tiba – tiba kuteringat lagu berjudul ”Air Mata” milik salah satu grup band tenar negeri ini yang menganjurkan mengungkapkan perasaan sedih, kalut, sampai marah melalui tangisan. Namun aku masih tegar menahan sakit kepalaku. Dari kejauhan kulihat lelaki bertubuh atletis, dengan janggut lebatnya ”Oh, itu Bachtiar” berlari menuju ke arahku. Mungkin karena berita orang – orang yang mendengar teriakanku tadi. Bachtiar adalah sahabatku yang dulu sering main ke rumah, tapi entah apa masalahnya Ia sekarang sudah jarang terlihat kembali. ”Apa karena ia ketahuan mencuri tongseng sapi masakan Bibi yang terkenal lezat itu ?”. Aku rasa tidak, karena walaupun ia bertubuh kekar seperti preman, sebenarnya hatinya lembut. Coba saja putarkan film sendu, lihat reaksinya pasti ia terharu. Bachtiar memegangi dan menutup mataku dengan tangan kanannya. Aku memberontak seraya mengucapkan ”kau kira aku ini kesurupan ?”. ”Sabar, sabar” ”mengapa setiap orang yang berada di sisiku selalu hanya bisanya bilang tenang, sabar! Memang tak ada perbendaharaan kata lainnya ?”. ”Bukan itu maksudku, mungkin karena akhir – akhir ini kelakuanmu sering tak terkontrol. Kadang berteriak kesakitan, sering pula berloncatan kegirangan. Sebetulnya apa masalahmu ?”. ”Entahlah, setelah peristiwa yang aku pun tak ingat, membuatku rasanya tak berada dalam raga sebenarnya”. ”Mungkin kau harus segera dibawa ke psikiater”, ”Aku tak yakin mereka bisa mengobati masalahku”.
***
Lama aku meninggalkan Bachtiar yang miris melihat kondisiku saat ini kembali pulang dan menanyakan ihwal ketidakjelasan tabiatku. Tapi belum sempat ku menanyakannya, kulihat Bibi Rosida menangis dalam doa purna sembahyang. Aku menunggu di ruang tengah, melihat betapa kelam sebenarnya hunian ini, banyak atap yang retak disambangi sarang laba – laba dan jenis serangga lainnya. Kemudian berpaling aku pada sebuah foto keluarga terpajang bersih di dinding, kuambil foto itu lalu kucermati dengan seksama. Seakan pernah bertemu ketiga sosok yang sedang berpose ceria, dan yang mengherankan aku juga berada di tengah – tengah mereka. Sepertinya aku tahu siapa mereka, tiba – tiba Bibi menghampiri lantas memegang pundakku. Aku terkejut lantaran sepertinya baru kali ini ekspresi Bibi terpancar sangat serius seperti itu. ”Alangkah malangnya kau Den Ragil, kenyataan telah membuatmu hilang akan segalanya”. Aku menatap raut wajah wanita setengah baya itu, di sisi garis – garisnya tetap saja senantiasa mencerminkan bahwa ia memang wanita berwibawa, tapi aku tak mengerti sama sekali apa yang dibicarakan Bibi”.
Ia menyambut foto dari tanganku menunjukkan ketiga orang yang bersamaku dalam bingkai foto. Bibi menceritakan dengan nada gemetar ”Kau pasti ingat mereka, mereka adalah keluarga yang harmonis, ini ibu, ayah, dan adik perempuanmu Den”. Tanpa sadar aku tersenyum lebar, tapi ini bukan senyuman manis oleh karena hati ini ingin menjerit tak kuasa menahan luapan kepedihan. Bibi memelukku ”Mereka adalah orang – orang terbaik yang telah kembali dalam dekapan-Nya”. Sontak aku tercengang, walaupun ia menahan kesedihannya namun aku bisa merasakan. Sebetulnya aku ingin protes, namun ku tak tahu siapa yang harus dituju. Derita yang pernah terekam oleh pikiran ini tiba – tiba diputar kembali terpampang jelas. Aku melihat bukit yang indah bermahkotakan warna – warni bunga membentuk seperti karpet tebal mempesona. Apabila aku toleh di sisi sebaliknya benar – benar menawarkan hamparan laut indah dengan kilauan bak mutiara. Aku tepat duduk di belakang mobil yang sedang ku tumpangi bersama anggota keluarga lainnya. Tapi sayang aku tak ingat kelanjutannya. Gambar itu tak memberikan kejelasan, seperti roll film klasik yang telah usang hanya melukiskan garis – garis hitam putih.
***
Aku tak percaya seperti ada yang menarik tubuh ini ke sebuah gudang di belakang rumah yang memang tidak pernah di buka setelah sekian lama. Aku masuk kedalamnya melihat ruangan yang gelap, hanya dibantu cahaya luar dari sedikit ventilasi udara yang kondisinya reot. Bau busuk bangkai segala jenis serangga dan binatang pengerat lainnya aku abaikan, demi melayani aduan penasaran ini. Banyak sekali kardus bekas yang setelah dibuka berisikan buku – buku tulis yang kusam. Catatan berupa kertas ataupun notebook juga banyak yang berserakan di lantai yang tertutup debu tebal.
Aku buka salah kardus yang memang berisikan buku. Aku mengenali tulisan – tulisan dalam buku cetak itu, meski tintanya mulai memudar, mungkin akibat atap gudang yang berlubang sehingga sangat mungkin akan terkena tetesan guyuran hujan. Tak sengaja aku menjegal salah satu kardus besar sisa bungkus televisi dengan merk ternama, memuntahkan semua isinya. Tetap dengan tema yang serupa, aku ambil salah satu yang berbeda. Sebuah stopmap biru tua bermukim surat – surat berharga, piagam penghargaan, sertifikat wisuda beserta foto. Aku terbelalak melihat sosok tersenyum dalam foto, tak lain ialah aku sendiri. Piagam yang bertuliskan ”Penghargaan ini diberikan atas nama Ragil Wijanarko oleh raihan IPK 3,5 fakultas S1 Ekonomi Program Pendidikan Akuntansi Universitas Burhanudin”. Ya Tuhan, ternyata aku adalah sarjana yang cukup pandai. Ironis sekali, kini aku tak mampu berkelakuan lagi halnya seorang sosok yang pernah mengenyam pendidikan hingga jenjang sarjana. Kenangan – kenangan tentang aku sewaktu sekolah dulu ternyata tersimpan semua di balik gudang tua ini. Tapi ada apa gerangan di balik semuanya ? seharusnya prestasi ini membanggakan bukan ?.
Justru disaat keadaan pelik, aku tambah pusing. ”Oh tidak, vertigo keparat ini kambuh lagi. Kali ini aku mencoba melepaskannya dengan berlari kencang menelusuri sepanjang jalanan tikus. Aku terhenti ketika kudengar suara dentuman benda keras, sepertinya kecelakaan dahsyat terjadi. Aku kembali berlari menuju arah suara, kutemukan telah banyak orang mengerumuni korban tabrakan tunggal yang dibawa ke tepi jalan. Sebuah motor bebek dan mobil sedan rusak parah. ”Motornya tergilas di bawah mesin mobil dan terseret hingga keduanya menabrak pagar pembatas yang kemudian terguling bersama”. Itulah yang kudengar dari omongan orang di depanku, mungkin ia salah seorang saksi kecelakaan. Aku mencoba melihat keadaan mereka sungguh memprihatinkan.
Ku hela nafas panjang, apalagi melihat kondisi jasad korban yang mengenaskan dan sebaiknya tak kuceritakan secara gamblang. Ya, tepat sekali kecelakaan itu telah merenggut nyawa dua orang dalam mobil. Mereka tewas seketika yaitu sang pengemudi dan seorang wanita yang duduk di jok depan. Sedang dua yang lain beserta pengemudi motor kabarnya mengalami luka – luka dan dilarikan ke rumah sakit. Seperti kamuflase saja, sangat persis seperti apa yang pernah kuingat mungkin hanya beda waktu saja kurasa. Apakah mungkin tragedi ini sebagai lanjutan gambaran yang tak jelas itu?. Suasana benar – benar kalut, kerumunan orang menyengir bahkan wanita di sebelahku harus dipapah temannya karena mual. Beruntung dengan sigap petugas polisi di lapangan dibantu warga segera menutupi kedua mayat tersebut. ”Bagaimana mungkin aku pun pernah mengalami peristiwa serupa ?”.
Aku bertanya pada seseorang yang kuyakini tahu dimana korban lainnya dirujuk. Hasrat ini memacu setiap saraf yang tergerak karena penasaran. Apalagi saat melihat keadaan rumah sakit rujukan yang sederhana, kuyakin pasti dengan infrastruktur yang minim pula untuk sebuah kecelakaan bertaraf maut. Memang tak bisa menyalahkan siapapun, sebab waktu sangat mendesak untuk pertolongan pertama. Aku menunggu cemas di ruang instalasi gawat darurat bersama warga lain yang mengantar korban, menunggu memang sangat membosankan hingga terdengar suara dorongan pintu tempat pemeriksaan korban yang lumayan keras, keluar salah satu dokter yang meminta tolong pada dokter lainnya yang jaga.
Aku berdiri penasaran bertanya bagaimana kelanjutan penanganannya ?. Sesaat menunggu tanpa kepastian, seorang dokter menyampaikan berita duka bahwa seorang penumpang mobil, yaitu sosok balita perempuan tewas kekurangan darah akibat banyaknya darah yang keluar. Sedang seorang anak lelaki hanya luka memar. Ia tampak shock menerima kenyataan, seluruh anggota keluarganya tewas tak terduga. Aku menghampiri anak laki – laki itu dengan ekspresi iba, kupeluk ia mencoba menenangkan.
Beberapa warga mencoba menelusuri keberadaan saudara lain yang mungkin masih ada hubungan darah, namun hasilnya tetap saja nihil. Tak ada pilihan lain, ia harus di diasuh di panti asuhan.
***
Inilah kenyataan, aku masih beruntung walaupun sekarang aku merasa aneh dalam ragaku sendiri, aku masih mempunyai Bibi yang mau mengasuhku. Ketika jalan sering tak menemukan maknanya. Apalah arti sahabat tanpa kepercayaan, apa artinya sarjana tanpa skill, apa artinya keluarga tanpa kasih sayang, dan apa artinya semua tanpa keyakinan.
Barangkali itu menjadikan lecutan bagi aku untuk bangkit dari tidur panjang. Bukannya apa – apa, selama ini aku hanya bisa merepotkan Bibi. Padahal ia juga punya keluarga di kampung, ia punya kehidupan. Mengapa harus melayani aku setiap saat yang sama sekali tak ada untung. Mungkin dulu ia mengabdi pada orang tuaku, namun sekarang ia mengabdi pada siapa?
Sepatutnya aku harus menemukan jalanku sendiri. Kalaupun aku sakit, aku ingin segera sembuh, sembuh dari penyakit misterius ini. Tak ada salahnya aku akan tinggal dalam pelataran yang semua warganya senasib denganku, walaupun akan tersiksa, dan menderita, hidup harus berjalan. Akan kutinggalkan semua hingar bingar sementara untuk kembali normal.

(*)Yogyakarta 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar