Senin, 27 Juli 2009

Cerpen Dahsyat

DILEMA

“Perjuangan memang tak akan semulus kain sutra, tak juga pernah bisa diprediksikan sesuai keinginan. Namun selama matahari terus menawarkan terangnya, embun pagi masih gemar menyapa, burung – burung tetap menyanyikan lagu merdu, selalu ada harapan dalam menyongsong hari”
Begitulah sebuah puisi lantunan Agung Soeprapto, seorang anak jalanan untuk memotivasi dirinya di waktu pagi setelah melahap nasi bungkus kecil yang dibelinya di pasar, tepatnya warung sembako milik Mbok Iyem. Ya, Agung memang selalu tidur di pasar di kapling Mbok Iyem. Pagi itu Mbok Iyem memberikan sedikit bonus berupa sebuah roti 500-an dan teh panas di plastik bening, karena merasa iba melihat raut wajah Agung yang melas dan menggigil akibat derasnya hujan tadi malam. ”le, kamu nanti mau tidur di sini lagi ?”, ”Yaa pastinya belum tentu Mbok, saya masih ingin cari – cari tempat yang kalau malamnya tidak kehujanan. Sindir Agung” Memang kenapa? ujarnya lirih. ”Oh tidak”. Sebenarnya dalam hati orang tua ini ingin menawarkan tinggal bersamanya, Ia tidak tega melihat nasib Agung yang seorang anak yatim piatu, walaupun secara logika pun Mbok Iyem hanyalah orang miskin dengan gubuk bambu kecil berisi satu kamar tidur dan satu ruang tamu berukuran mini.
Rupanya Agung juga tahu maksud hati Mbok Iyem, tapi pantang baginya menyusahkan orang lain, Ia sudah terbiasa hidup mandiri sejak kecil sepeninggal orang tuanya akibat gempa bumi dua tahun lalu. Waktunya kini terforsir untuk bekerja daripada sekolah. Perlahan Agung meninggalkan warung yang mulai dipadati pembelinya, bergegas menuju agen koran untuk memasarkannya di perempatan – perempatan jalan. Bersama Hartono dan adiknya Rusni, serta teman – teman seperjuangan lainnya menawarkan koran dari pagi hingga sore. Teriknya matahari melalui panas sinarnya di waktu siang yang seakan membakar tubuh, telah melatihnya menjadi anak tangguh.
Setelah menempuh hari melelahkan, mereka beristirahat sejenak di emperan bekas toko plastik, di jalan Ring Road selatan. Tiba – tiba Agung menyeletuk dalam keheningan, ”Hey, bagaimana kalau kita mendirikan semacam institut pendidikan atau lembaga pendidikan kecil?, nanti pengurus dan pesertanya bisa dari teman – teman yang lain. Kita bisa membuat terobosan baru, yakni komunitas intelektual anak jalanan. Daripada hanya menganggur sehabis jualan koran ?!”. ”Kalau aku guru, aku berani ambil ide mu itu. Tapi kita hanya lulusan SMP, adikku SD saja nggak lulus, buat makan saja pas – pasan, apalagi mau buka apa tadi ? Institut apalah itu ?!. Ngawur kamu, seperti orang gede saja” Sahut Hartono. ”Bagaimana bisa tahu kalau belum mencoba ?”. ”Terserahlah, yang penting kalau ada apa – apa, jangan bawa namaku”. Agung terdiam sembari tetap saja memimpikan misinya itu. Dalam benaknya, untuk rencana atau usaha mulia tidak harus mengandalkan uang banyak untuk biaya macam – macam. Tenaga dan pikiran didorong kemauan merupakan modal paling penting, meski bukan sekolah formal.
Ia beranjak meninggalkan Hartono dan Rusni menuju ke tepian sungai perkotaan yang selalu menawarkan aroma busuk akibat sampah yang semakin lama semakin melimpah hingga hampir menutup seluruh saluran airnya. Ia duduk merenung hampir satu jam penuh lamanya. Kemudian ia memutuskan untuk melakukan safar yang dirinya juga tak tahu akan kemana. Agung berfilosofi ”Aku akan menjalankan apa saja, karena pasti akan ada pelajaran dari hal itu. Itulah yang dinamakan sekolah kehidupan”. Setelah hari – hari yang dilalui belum juga menemukan kejelasan, bergumamlah Agung ”Apa benar omongan Hartono, orang seperti aku yang miskin materi memang sulit cari ilmu”. Hinga larut malam Agung hanya berjalan menyusuri jalanan panjang yang penuh sesak oleh mobil orang – orang kaya, bergelimang segala kemewahannya. Sampai ia mendengar ceramah pengajian di suatu masjid megah. Tanpa pikir panjang dan berharap akan pencerahan, Agung mengambil air wudhu dan duduk diantara jama’ah pengajian yang sebagian besar tampak serius.
Dalam fokusnya, tiba – tiba seorang laki – laki kurus, dengan kopiah putih, berlilitkan sorban kotak – kotak menyapa ”Assalammu’alaikum Dik, bisa bicara sebentar?” ”Wa’alaikumsalam”. ”Maaf mengganggu”. ”tidak apa, saya tidak merasa terganggu”, kilahnya. Agung tampak bingung karena lelaki yang kemudian diketahui bernama Aryo yang biasa dipanggil Mas Yok itu langsung menanyakan banyak hal layaknya aparat kepolisian yang sedang mengintrogasi tersangka namun bedanya lebih santai, sehingga lama – lama Agung seperti bertemu teman lama. Sebelumnya Agung sempat curiga, ”mengapa orang dengan pakaian khusuk seperti ini, malah bicara sendiri?! Bukannya memperhatikan, mengapa tidak nanti saja setelah purna?”. Sangat lama pembicaraan itu, hingga tibalah Aryo menerangkan maksud obrolannya yang menjadi poin penting, ”Mau ikut ke kajian ku? Disana kita bisa belajar banyak hal tentang kitab suci. Bukan hanya seperti ini yang bisanya menerangkan garis – garis besar yang orang – orang telah banyak mengerti, bahkan terkesan membosankan, sudah saatnya kita tahu yang sebenarnya secara detail untuk apa kita dilahirkan ke dunia ini”. Karena merasa semakin akrab, dan memang Agung sedang frustrasi dengan kompleksnya masalah kehidupan, merasakan nafas baru. Ia tidak bisa menagak tawaran itu.
Malam selanjutnya ia memenuhi janji Aryo di sebuah rumah sederhana berwarna kuning kecoklatan dengan retakan kecil di berbagai sisi dindingnya yang kiranya adalah rumah kontrakan dengan perabotan yang juga tidak mengesankan bahwa pemiliknya orang berduit. Ternyata benar sesuai dugaan Agung, pengajian itu bernuansa urgen, tertutup, dan sangat rahasia. Bahkan ketika Agung masuk kedalamnya, dengan segera pintu ditutup rapat – rapat sampai dikunci oleh salah seorang teman Aryo. ”Berniat menebar kebaikan mengapa harus rahasia begini?!, Aneh” Gumam Agung. Sesaat menunggu dengan jama’ah yang juga sedikit, tiba – tiba deruan motor sepertinya singgah di halaman rumah. ”Ustadz sudah datang, bersiaplah menerima perubahan besar. Jangan pernah tuk beranjak sedikitpun” bisik Mas Yok serius.
Diawali dengan pembukaan dan sedikit kata pengantar ramah tamah untuk Agung yang kemudian dianggap sebagai tamu kehormatan, berlangsunglah kajian melalui penyampaian yang memikat, membuat Agung betah dan nyaman hingga hari – hari berikutnya. Kemudian memutuskan bergabung dengan kelompok eksklusif itu, walaupun banyak doktrin – doktrin yang di luar ketentuan umum yang bersifat ekstrim tanpa dasar misalnya, namun Agung mendapat perlakuan istimewa akan perekrutan dirinya, bak terlanjur menyelam ke dalam lautan yang indah sampai menemukan indahnya pemandangan yang belum pernah ia lihat dan sulit rasanya untuk kembali ke daratan lagi.
Hari – hari yang ia jalani dalam sebuah organisasi X membuat semangat hidupnya kembali bergairah. Ambisinya dalam mengampu organisasi perlahan lahan bangkit, ketika Agung dipercaya sebagai salah satu pilar urusan kaderisasi. Aryo yang kemudian banyak mengajari ilmunya pada Agung, ”kiranya sama seperti aku mengajakmu, tapi tentunya dengan gayamu sendiri” ucapnya. Agung terdorong menjadikan Mas Yok seperti rais bagi pendamping tugasnya. Ia menganguk dan sepintas saja langsung teringat pada teman – teman jalanannya dulu terutama karibnya, Hartono. ”Mungkin Hartono yang pertama, supaya dia hilangkan hobi keluyurannya sesudah menawarkan koran, yang sama sekali tidak bermanfaat” batinnya. Bergegaslah ia menuju pangkalan anjal, dan ternyata memang benar Hartono bersama yang lain sedang bergurau sambil menghitung bagian hasil kerja kerasnya. ”Har !”. ”What’s, eh... kemana saja bro, lama nggak muncul”. Ditarik lengan sahabatnya itu meninggalkan keasyikan rekan lainnya dan mulailah pembicaraan. ”Santai bro, buat kamu, bisalah”. ”tapi ini serius, bukan main – main” tandas Agung dengan raut wajah sedikit merayu. ”Oke, oke nanti kita lihat, jikalau bisa buat aku alim mengapa tidak kucoba” dengan nada bercanda. Hartono memang anak dengan pergaulan yang luas bahkan sampai anjal – anjal di kota tahu siapa dia. Agung percaya penuh, walaupun dengan bercanda. Ia yakin Hartono bisa masuk organisasi.
Pendekatan melalui kajian pun terlaksana guna memperat kebersamaan anggota kelompok. Hartono yang notabene orang baru hanya bisa termangu tanpa sepatah kata terlontar dari bibirnya. Sementara yang lain sangat antusias dengan berbagai lemparan pertanyaan kepada narasumber. ”Har, itu yang bicara salah satu petinggi kita, dia orang hebat yang telah banyak makan asam garam kehidupan”. ”Memang hebat apanya?” tanya Hartono. ”amatilah cara penyampaiannya yang enak, ilmunya juga sudah tinggilah pokoknya!. Sampai – sampai yang tanya banyak seperti ini, biasanya paling yang merespon 2 atau 3 orang saja” jelas Agung. ”Lantas mengapa aku belum pernah lihat kiprah kelompokmu ini? paling tidak seperti bhakti sosial di masyarakat begitu?” tanyanya lagi tanpa berpaling ke wajah Agung. ”Orang yang bisa masuk sini, tidak lain orang yang memang telah terpilih untuk amanat mulia, kamu harus yakin. Dulu aku juga merasakan hal yang sama seperti yang kamu rasakan sekarang”.
Segmen demi segmen telah dilalui, namun di hati Hartono tetap saja masih mengganjal. Sesekali perasaan takut dan segera menuntaskan kajian semakin mendera. Agung yang duduk di sebelahnya berusaha terus meyakinkan karibnya. Semakin lama Hartono semakin yakin untuk meninggalkan forum, dengan mulai melangkahkan kaki ”Mau kemana ? Kita akan mulai ke bagian inti!” tanya Agung. ”Aku ke kamar mandi dulu, sudah tak tahan rasanya mau buang air” Ia lekas bergegas menuju belakang rumah mencari akal untuk bisa lolos. Ditengah paniknya Hartono, dua orang yang tak dikenal tiba – tiba memukulnya dari belakang hingga pingsan. Sebab keduanya melihat inisiatif Hartono yang mencurigakan.
***
Hartono tersadar keesokan harinya ketika kepalanya masih terasa pusing. Ia terperanjat saat melihat banyaknya peralatan – peralatan elektronika seperti kabel berukuran panjang, berbagai rangkaian yang ia pun juga tak tahu, dan yang semakin membuatnya yakin akan dugaannya ketika ia melihat banyaknya amunisi bahan peledak dalam karung – karung dengan tulisan ”Awas Berbahaya”. Ia disekap dengan tangan dan kaki yang terikat. Balutan tali yang super kuat, penat serasa penuh sesak membuatnya tambah tersiksa. Pengalaman teman jalanannya dulu yang juga pernah terhasut omongan yang tidak jelas sehingga sampai kini tak tahu keberadaanya membuatkan pelajaran untuk segera bisa lolos melarikan diri walaupun dalam kondisi tubuh yang masih labil.
Dalam kegelapan seperti ruang bawah tanah, muncullah tiga orang dengan tutup kepala hitam, salah seorang dari mereka mengatakan apa dan bagaimana sebenarnya organisasi ini. Ia terus meyakinkan Hartono dengan kata – kata yang bermaksud meminangnya lagi dengan cara halus. Namun Hartono tetap tak memperhatikan, yang ia pikirkan hanya bagaimana caranya lolos dari lubang buaya ini, ia terus bersikap meronta dengan sisa tenaganya. Melihat tingkah Hartono, membuat tiga orang anggota ini naik pitam, mereka memukuli, menendang seraya mengatakan yang keluar dari mulut salah satunya ”tak ada ampun buat pengkhianat, laknat kau !”. Sayangnya Hartono tetap teguh atas pendiriannya.
Melihat kasus itu, pimpinan cabang segera mengundang Agung ke markas. Agung dengan sigap menuju markas, dan sesampainya, ia terkejut ketika disana telah berkumpul dewan – dewan cabang yang lain termasuk Aryo. Mereka membuat penjelasan kepada Agung atas keengganan temannya Hartono masuk sebagai kader. ”Mungkin kamu tidak akan percaya, sesuai perjanjian yang pernah kita deklarasikan dua tahun lalu bahwa barang siapa yang menolak menjadi kader setelah ia mengetahui semua rahasia organisasi. Maka orang yang membawa harus bertanggung jawab menghabisinya”, ungkap Aryo. Namun tampaknya Agung belum mengerti apa yang dijelaskan. Kemudian Aryo secara tegas mengatakan kepada Agung bahwa singkatnya ia harus membunuh sohibnya itu.
Agung sesaat termenung tidak percaya, tubuhnya kaku, jantungnya seakan berhenti sejenak, perasaan pun menjadi kalut. Tampak bingung terpancar dari garis wajahnya, ia mencoba memprotes ”mengapa aku baru tahu sekarang, setelah sekian lama menjadi bagian urusan kaderisasi?” Aryo berusaha menenangkan, mencoba menjelaskan kembali bahwa semuanya demi dakwah, ”ini adalah amanat, memang sulit untuk yang pertama kali, tapi ia akan menjadi penghalang misi mulia kita”. Dan yang lebih membuat tragisnya lagi, eksekusi harus dilaksanakan hari itu juga, tidak boleh ada penundaan. Agung beranjak pergi dari ruangan menyendiri di salah satu sudut rumah. Pikirannya kacau sejadi jadinya, ”antara sahabat dan amanah” terus saja yang terngiang membanjiri dalam benaknya. Yang kemudian bisikan amanat lah yang menang mengendalikan pikirannya. Aryo kembali menghampiri Agung setelah berjam jam menyendiri. Sambil mengucapkan bahwa ”Hartono akan menjadi syuhada akan kematiannya nanti, ia akan hidup di surga”.
Kalimat itu makin menambah kepercayaan Agung untuk mengeksekusi kawannya. Mereka berdua berjalan menuju ruang dimana Hartono disekap. Disana Hartono terlihat ditutup matanya dengan secerca kain hitam, sedang dipukuli oleh tiga orang berbadan tegap sampai kesakitan guna mempermudah proses eksekusi. Agung didampingi Aryo mendekat dan dihadapkan pada Hartono yang sudah tampak lelah. Tiga orang yang menyiksa Hartono sebelumnya, memberi kode menyerahkan tindakan berikutnya, dan segera meninggalkan mereka bertiga. Pisau tajam dalam genggaman Agung, dengan mata yang mulai berkaca kaca. Aryo lagi – lagi memegang pundak Agung, berbisik ”lakukanlah....!!”. Kemantapan nurani saat itu tak mampu terkalahkan oleh apapun ”Maafkan aku sobat” terucap dalam hati. Lalu ia berteriak takbir seraya menghunuskan pisau tepat ke bagian ulu hati Hartono. Hartono jatuh tersungkur dengan kondisi yang masih terikat diatas sebuah kursi. Darah mulai keluar dari bekas tusukan membuatnya meregang nyawa. Air mata deras mulai menghujani pipi Agung, seolah sebagai ungkapan protes akan nasibnya. Entah kekuatan dahsyat apa yang membuatnya tega. Lantunan persahabatan mati ironis tersiksa secara tragis.
***
Sesaat, luapan segala emosi bercampur aduk tak karuan, pikirannya kacau akibat tikaman maut yang dilakukannya. Nasihat dari sesama kader yang lain tak dihiraukannya. Di lain pihak suasana markas menjadi kondusif kembali selang beberapa waktu. Keramaian diskusi bercampur ceramah berisikan motivasi meluluhkan hati para kader. Namun kondisi yang paradoks justru menyelimuti perasaaan Agung. Ia hanya berpikir dan terus berpikir.
Setelah hari – harinya diliputi kegalauan, ia memutuskan keluar dari organisasi X, tapi ia ragu merujuk ke markas besar dan menyatakan itu semua karena konsekuensi berat pasti ditanggungnya. Ia hanya menyampaikan niatnya melalui Aryo yang sudah dianggap seperti keluarga sendiri. Jelaslah Aryo tidak akan berani mengambil resikonya meski Agung telah berjanji bahwasanya ia akan tutup mulut tidak akan membicarakan keberadaan organisasi ini pada siapapun. Manalagi sebagai salah satu tetua, tentu Aryo tidak akan membahayakan kelompoknya sendiri. Lalu bersama berbagai pernyataan, Agung pamit dan meninggalkan semuanya. ”Terima kasih atas bimbingannya selama ini Mas”. ”Sudah sewajarnya kita saling menolong, bukan !” Aryo menyengir.
Sepeninggal Agung sesaat kemudian, Aryo menghubungi beberapa Algojo yang juga sesama anggota guna menghakimi tindakan Agung. Bersama rekannya Aryo mengendarai sepeda motor menunjukkan jalan yang kiranya dilalui korbannya itu, yang pasti belum jauh dari tempat obrolan, disebabkan Agung hanya berjalan kaki. Saat mengintai Agung yang berjalan lesu di jalanan sepi, didukung suasana malam, dikelilingi pohon – pohon perindang yang tinggi, dan tentunya jauh dari pemukiman penduduk beberapa kawanan motor yakin menghampiri yang serta merta melesatkan beberapa tembakan senapan api termasuk Aryo, kemudian meninggalkannya. Agung langsung tersungkur tak berdaya di tepi jalan akibat luka yang cukup serius. Tubuh yang lemah itu pun akhirnya menemui ajal.
***
Sehari setelah kejadian aparat kepolisian menemukan jasad Agung dan mengidentifikasinya. Ketika dilakukan olah TKP, ditemukan secarik kertas yang berisi tulisan dengan tinta hitam yang disinyalir ditulis sehari sebelumnya dan disampaikan kepada Rusni beserta anak jalanan lain yang dulu juga teman Agung.
”Perjuanganku mungkin kan berakhir. Aku tak yakin mampu menatap hari esok bersama matahari pagi. Embun serasa bungkam di sela celah gemerlap bintang kejora. Burung – burung telah menyanyikan lagu sendu untukku. Maafkan aku kawan, aku telah menjerumuskan kalian dalam kubangan hitam. Mungkin juga esok ku kan bersanding lagi dalam pelukan hangatNya, terlelap dalam sunyi yang semoga indah.

Tulisan singkat itu, diakhiri dengan suatu kata bertinta merah pekat yang kiranya ceceran darahnya sendiri dilingkupi oleh bekas tetesan air mata DILEMA.

(*)Yogyakarta, 2008
Sinopsis Cerpen Dilema
Cerita ini mengisahkan tentang seorang anak jalanan remaja beserta jejak kehidupannya yang keras. Memimpikan pengharapan kehidupan yang lebih baik melalui pemikirannya. Ia hidup serba kekurangan materi, untungnya ia masih memiliki semangat yang sangat diandalkan. Namun malangnya ia karena semangat itu disalah artikan menuju perangkap kelam dalam organisasi sesat. Keyakinan paham kelompoknya itu ia tularkan pada karibnya. Ia ajak sahabatnya itu dalam kajian pengenalan. Tetapi kesadaran karibnya akan perkumpulan sesat memutuskan enggan bergabung. Pernyataan itu tentunya membuat konsekuensi yang sangat berat, yaitu hilangnya nyawa melalui tangannya sendiri. Ia sangat terpukul yang kemudian memutuskan keluar dan menerima konsekuensi yang sama.
Agung Soeprapto nama lengkap pemuda heroik ini. Menjual koran di perempatan jalan merupakan kesehariannya. Sewaktu saat ia memikirkan sebuah misi menjadi seorang intelektual. Sayang, Hartono sebagai teman dekat hanya menganggap halnya angin lalu. Menanggapi reaksi sahabatnya itu, menambah gairahnya untuk segera membuktikan. Proses yang ia lalui sangat memberatkan, hingga ia bertemu Aryo dan mengajaknya bergabung dalam sebuah organisasi dakwah. Merasa memperoleh rumah baru, ia mengajak Hartono untuk merasakan juga indahnya kebersamaan.
Diluar dugaan, rupanya Hartono mengelak bergabung dalam kelompok setelah ia mengetahui seluk beluk perkumpulan yang sebenarnya rahasia. Dewan petinggi organisasi mengambil langkah, memanggil Agung untuk mengeksekusi mati kawannya sebagai konsekuensi sesuai peraturan yang pernah dideklarasikan jauh sebelum Agung menjadi kader. Meski sangat berat bagi Agung, mau tak mau ia harus melaksanakan.
Pukulan yang sangat hebat mendera perasaan Agung setelah eksekusi dilaksanakan. Frustrasi berkepanjangan memutuskan Agung hengkang dari organisasi. Tingkahnya yang memang akan sulit diyakinkan kembali membuatnya menerima hukuman yang sama. Agung meninggal dunia dalam penyesalan yang ia ungkapkan dalam tulisan singkat ditujukan bagi kawan jalanannya sesama penjaja surat kabar.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar